e-Payment Bikin Orang Makin Boros Uang, Benarkah?

Uang  
e-payment bikin kita makin boros, benarkah?
e-payment bikin kita makin boros, benarkah?

Zaman sekarang kita sudah akrab dengan transaksi elektronik atau e-payment. Kita tinggal menggesek (swipe), mengetuk (tap), dan mengonfirmasi (confirm) pembayaran, kemudian apa yang dimau bisa dibeli. Hitungan detik kita punya ponsel baru, baju baru, sepatu baru, televisi baru, motor baru, sampai mobil baru.

Keterikatan emosional kita dengan uang semakin jauh. Tidak ada lagi tangan yang penuh pertimbangan saat mengeluarkan lembaran uang tunai dari dalam dompet. Tidak ada lagi pikir panjang untuk membelanjakan hasil keringat sebulan hanya demi keinginan, bukan kebutuhan.

Coba kita bayangkan, pasti beda rasanya menyerahkan setumpuk uang tunai Rp 4,5 juta di counter hp dibanding mengeluarkan kartu debit atau kredit kepada kasir. Rasa sayangnya pasti beda, ya kan?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Transaksi nontunai dalam bentuk e-payment memungkinkan banyak orang kehilangan kendali atas uang. Orang-orang tak lagi melihat besarnya transaksi harian mereka.

Akibatnya mereka terburu-buru membelanjakan penghasilannya. Ibaratnya mereka mencari uang sampai setengah napas, tetapi menghabiskannya dalam satu tarikan napas. Itu karena teknologi memungkinkan orang-orang tinggal swipe, tap, dan confirm, bahkan hitungan detik saja, dan tidak perlu kuitansi atau tanda terima.

Dalam hal perencanaan keuangan, kita sering menerapkan prinsip pareto, yaitu 80/20. Artinya 80 persen hasil berasal dari 20 persen usaha. Kita hanya perlu mengalokasikan 20 persen penghasilan untuk tabungan atau investasi, sedangkan sisanya 80 persen bisa digunakan untuk keperluan lain.

Sayangnya banyak yang melakukan kesalahan finansial karena tidak berpegangan pada prinsip ini. Kebanyakan kebablasan dengan membelanjakan 80 persen dalam waktu singkat, dan akhirnya 20 persen investasi terpaksa ditarik kembali untuk menutupi anggaran yang kurang.

Pakar dan praktisi keuangan juga sering menyebutkan manajemen keuangan pribadi itu 20 persen angka dan 80 persennya psikologi. Jadi, psikologi kita sangat menentukan.

Kesuksesan finansial kita bergantung pada cara kita memahami kekuatan uang. Kita harus tetap berpandu pada perencanaan keuangan dan anggaran yang sudah kita tetapkan setiap bulannya. Kita harus mampu memvisualisasikan pengeluaran, memprioritaskan kebutuhan di atas keinginan.

Singkatnya, semakin kita merencanakan keuangan kita dengan baik, semakin cepat pula kita mencapai tahap bebas finansial.

Teknologi memang membantu kita semakin produktif. Namun, dalam konteks keuangan pribadi, teknologi bagaikan dua sisi mata uang yang bisa menjadikan kita penabung yang baik atau pemboros.

Memang benar, tidak semua orang jadi pemboros karena e-payment, tetapi kita perlu membatasi transaksi nontunai seperti ini. Semakin sering kita menggunakan kartu kita atau aplikasi m-banking kita, semakin tinggi kemungkinan kita kehilangan kendali atas anggaran kita. Pada akhirnya ini memengaruhi kemandirian finansial kita. Jadi, lebih bijak lagi ya.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Parenting dan lifestyle blogger yang senang menuangkan kisahnya di www.muthebogara.blog

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image