Mengapa Anak Autis Lebih Banyak Laki-Laki Ketimbang Perempuan?
Pertama kali mengantarkan putra saya terapi di Center KIDABA, Grand Wisata Bekasi, saya terkejut bukan main. Mengapa pasien dokter yang menangani anak saya semuanya laki-laki? Apakah cuma anak laki-laki yang bisa autis, sedangkan anak perempuan tidak?
Autisme atau autism spectrum disorder (ASD) secara signifikan lebih sering terjadi pada anak laki-laki ketimbang perempuan. Penelitian Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat yang diterbitkan pada 2017 menyebutkan prevalensi anak laki-laki dan anak perempuan autisi adalah 4,2 berbanding 1.
Saya mencari tahu lebih lanjut, faktor apa yang mungkin menentukan rasio jenis kelamin ini? Ternyata mayoritas jawaban yang saya temukan adalah bias diagnostik.
Anak perempuan atau perempuan dengan gejala ASD sering terlambat didiagnosis karena dokter, guru, bahkan mungkin orang tua menganggap autisme umumnya hanya terjadi pada anak laki-laki. Ini memberi kesan anak autisi perempuan terabaikan atau istilahnya mereka menjadi the lost girls.
Faktor kedua, gejala atau ciri-ciri autisme yang ditunjukkan anak perempuan rupanya berbeda dengan gejala umum yang ditunjukkan anak laki-laki. Autisi perempuan mungkin tidak selalu seperti autisi laki-laki yang memiliki minat terbatas dan melakukan perilaku berulang (repetitif).
Autisi perempuan cenderung bisa menutupi fitur autismenya dengan meniru perilaku anak-anak sebayanya yang neurotipikal alias normal. Akibatnya, gejala-gejala autisnya yang tampak lebih sulit dideteksi, bahkan ketika dokter anak atau psikolog berusaha menemukannya.
Autisme adalah gangguan perkembangan ditandai defisit komunikasi dan keterampilan sosial, perilaku terbatas dan berulang. Anak autis juga sering mengalami masalah sensorik. Begitu defenisi umum yang saya baca di berbagai artikel dalam dan luar negeri.
Faktanya, sebuah penelitian di Standford University pada 2005 menemukan anak autisi perempuan cenderung lebih bisa mengontrol perilaku di depan umum, sehingga guru tidak melihat perbedaannya dengan anak-anak tipikal lainnya. Anak-anak perempuan ini mungkin baru dikucilkan dari pergaulan ketika misalnya, mereka jarang berbagi senyum, atau tidak mau membangun kontak mata dengan lawan bicara.
Seiring bertambahnya usia, pada masa remaja, gejala autisme pada anak perempuan semakin kelihatan. Salah satu gejala paling mudah diidentifikasi adalah pola imitasi perilaku. Ya, anak autisi perempuan belajar menyalin atau copy paste perilaku dan perkataan rekan-rekannya sebanyak mungkin, sehingga tampak aneh.
Perlahan anak autisi perempuan yang sudah remaja ini rentan stres dan depresi, juga bermasalah dalam pergaulan sosial. Mereka mudah diintimidasi hanya karena dianggap naif atau tidak pandai berinteraksi sosial yang normal seperti anak perempuan lainnya.
Anak-anak autisi perempuan sangat baik hati, selalu mencari kebaikan dari diri orang lain, bahkan ketika orang lain tersebut jahat padanya. Orang lain begitu mudah memanfaatkannya, menggertaknya, dan anak istimewa ini tetap tidak membalas dan mengatakan apa-apa.
Dari pada membalas orang tersebut, anak lebih memilih menyakiti diri atau menyimpan kesedihan sendiri. Mulai muncul banyak pertanyaan dalam dirinya, seperti "Apa yang salah dari diri saya?"
Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya hidup anak autisi perempuan yang terlambat didiagnosis. Tentu mendiagnosis mereka membutuhkan kepekaan dan kesadaran lebih tinggi dari pihak orang tua, guru, terutama dokter di Indonesia.
Semakin banyak kita mengetahui perbedaan antara anak autisi laki-laki dan perempuan, semakin cepat kita bisa mendiagnosis, menterapi, dan menyusun strategi untuk pengobatan mereka. Mungkin pada waktunya nanti ilmu kesehatan di negara kita bisa memberi dukungan, perhatian, dan bantuan layak untuk anak-anak autisi perempuan tanpa melupakan risiko nyata tingginya kasus autisme pada anak laki-laki.