Tak Perlu Aneh Melihat Anak Autis
Sepanjang hidup saya, setidaknya 2,5 tahun terakhir saya mendengar banyak komentar tentang anak autis. Komentar mereka kebanyakan tidak bermaksud menjahati. Saya lebih melihat perkataan atau pandangan mereka menunjukkan kurangnya pengetahuan dan pemahaman mereka tentang autisme.
Saya tahu orang-orang tersebut tak bermaksud bikin saya marah, tetapi kok rasanya hati saya tetap saja sedih. Hal paling bikin saya sedih saat mereka bilang, anak autis tidak bisa disembuhkan.
Saya juga mendengar beberapa komentar hebat yang membuat saya kian semangat mendampingi anak spesial saya yang sebentar lagi berulang tahun ke-3. Mereka adalah para orang tua, khususnya ibu yang membuktikan bahwa anak-anak autisi (penyandang autisme) bisa sembuh.
Autisme kerap dipandang sebagai kondisi seumur hidup. Faktanya banyak anak-anak autisi yang menjalani intervensi dini hilang ciri-ciri autisnya dan melepaskan diri dari diagnosis tersebut.
Salah satu mantan autisi yang saya jadikan contoh adalah Fachry Azzami Chairandi Syukur, putra dari Ibu Chairita Miranda dan Bapak Freddy Faldi Syukur. Selain berkenalan dengan beliau beliau lewat media sosial, juga karena anak-anak kami didampingi dokter sama, dr Rudy Sutadi, saya juga mengikuti kisah lengkap Fachry lewat bukunya berjudul The Reborn Fachry. Kalian bisa baca kisah lengkapnya di sana.
Berbagai penelitian menunjukkan autisme bisa didiagnosis sejak anak kita berusia 18 bulan. Beberapa dokter anak atau psikolog yang sudah sering berhadapan dengan pasien autisi bahkan bisa mengamati ciri-ciri autisme pada bayi sejak berusia 6-7 bulan.
Ini berarti 12 bulan pertama kehidupan bayi kecil kita sangat penting untuk diagnosis tersebut. Ini semakin penting ketika dalam pohon keluarga kita memiliki riwayat anggota keluarga dengan gejala autisme atau pernah didiagnosis autis, baik dari pihak suami ataupun istri.
Banyak anak dengan gangguan spektrum autisme menunjukkan perbedaan perkembangan. Rashif, putra saya misalnya, paling terlihat dari kemampuan sosial dan berbahasanya. Hingga sebulan lagi menuju tiga tahun, Rashif masih belum bisa berbicara. Padahal saudara kembarnya sudah berkomunikasi dua arah dan ngobrol dengan kita.
Ada 12 kelompok gejala autisme dan masing-masing kelompok gejala memiliki beberapa ciri. Hanya dokter yang berhak mendiagnosisnya.
Berdasarkan pengalaman saya menangani Rashif, berikut beberapa ciri awal anak yang menunjukkan gejala autisme.
· Tidak ada kontak mata. Mungkin kontak matanya bagus hingga usia 6 bulan atau setahun, kemudian hilang.
· Anak tidak mengoceh. Ada juga yang mengoceh tapi tidak bisa berhenti dan mengulang ocehan yang sama (ekolali)
· Anak tidak tersenyum. Wajahnya tidak menunjukkan bahasa sosial kepada orang-orang di sekitarnya.
· Anak tidak merespons, misalnya menoleh ketika dipanggil namanya.
· Anak tidak bisa menunjuk objek dengan jari telunjuknya.
· Anak cenderung menyendiri.
· Anak tidak bisa bermain imajinasi, misalnya main masak-masakan, main pistol-pistolan.
· Anak menyukai perilaku berulang, misalnya memutar roda sepeda, menonton tontonan sama berulang, mengepakkan tangan, bertepuk tangan, berjalan jinjit seperti penari balet, memainkan jari jemari, dan sebagainya yang tampak tak wajar.
· Anak seperti tidak terikat dengan orang tua, misalnya melengkungkan tubuhnya ketika digendong.
· Anak sering terganggu tidurnya di malam hari, kerap menangis, atau ketawa sendiri.
· Sebagian anak tidak suka kontak fisik, sehingga menghindar saat bersentuhan dengan orang yang baru ditemui.
· Anak tidak bisa melambaikan tangan, atau melambai dengan posisi tangan terbalik.
· Anak menarik tangan kita untuk meraih sesuatu atau mengambilkan benda yang dia inginkan.
· Anak tidak bisa menunggu atau disuruh bergiliran (mengantre).
· Anak tidak suka rutinitasnya terganggu, misalnya marah jika mainannya diambil.
· Emosi anak berlebihan, saat senang dan sedih.
Ada banyak lagi ciri yang muncul seiring bertambahnya usia anak. Beberapa ciri mungkin hilang, tetapi beberapa ciri baru muncul. Jadi, mulai dari sekarang tak perlu asing dan aneh dengan autisme. Cukup pahami, kenali gejalanya, dan lakukan intervensi.
Mengejar kesembuhan anak autisi benar-benar penuh tantangan dan butuh waktu yang tidak sebentar, bukan sebulan dua bulan, melainkan tahunan. Inilah saya rasa alasan banyak orang menganggap spektrum ini bersifat seumur hidup, alias tidak bisa disembuhkan.
Beda cerita jika orang tua anak autisi itu seperti Ibu Chairita, ibunda Fachry, saya optimistis anak-anak dengan gangguan serupa akan hilang gejalanya. Mereka bisa bersekolah di sekolah reguler, bersosialisasi, berinteraksi dengan anak-anak sebayanya.
Pada 1987, psikolog Universitas California, Los Angeles, Ole Ivar Lovaas berhasil membuktikan autisme bisa disembuhkan. Setengah dari anak-anak autis yang dirawatnya dan menjalani terapi Applied Behavior Analysis (ABA) setidaknya 40 jam sepekan pada akhirnya nyaris tidak bisa dibedakan dari anak-anak tipikal lainnya setelah duduk di bangku kelas satu sekolah dasar (SD). Atas dasar penelitian ilmiah inilah disimpulkan intervensi dini dan terapi intensif bisa menyembuhkan anak-anak dengan gangguan autisme.
Sebagai Muslim, kita juga tidak boleh lupa akan janji Allah bahwa tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Mengetahui bagi mereka yang mengetahui, dan tidak mengetahui bagi mereka yang tidak mengetahui. Autism is curable, insya Allah.