Banjir Pakistan Jadi Momentum Aksi Iklim di Sidang Umum PBB 2022
NEW YORK -- Pertemuan Sesi ke-77 Sidang Umum PBB (The 77th Session of the UN General Assembly) resmi dibuka Selasa, 20 September 2022. Lebih dari 150 pemimpin dunia berkumpul di New York, Amerika Serikat (AS).
Pemerintah Indonesia juga membawa sejumlah isu penting untuk disampaikan dalam rangkaian pertemuan tersebut. Dikutip dari ANTARA, pemerintah mengedepankan lima isu dalam bentuk misi diplomasi.
Pertama, pemaparan presidensi G20 Indonesia serta persiapan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali. Kedua, penguatan kerja sama multilateral.Ketiga, mendorong peran penting PBB dalam penanganan tantangan global, di antaranya pandemi Covid-19, pemulihan ekonomi, serta perubahan iklim.
Keempat, penguatan arsitektur kesehatan global. Kelima, upaya penyelesaian sengketa secara damai.
Jika fokus ke isu perubahan iklim, ada lima isu penting yang akan dibahas pada kesempatan tersebut. Dilansir dari Climate Home News, Selasa (20/9), berikut lima momentum untuk aksi iklim di Sidang Umum PBB ke-77 Tahun 2022.
1. Pemulihan pascabencana yang disebabkan iklim
Banjir Pakistan salah satu bencana iklim terburuk yang pernah ada. Banjir monsun yang belum pernah terjadi sebelumnya itu telah membebani negara tersebut sebesar 30 miliar dolar AS untuk anggaran pemulihan multisektor.
Bantuan kemanusiaan untuk Pakistan juga kurang memadai. Pasalnya perang Rusia dan Ukraina memperdalam ketegangan geopolitik, membuat harga pangan dan energi dunia melonjak drastis. Inflasi global meningkat, beban utang negara-negara berkembang kian rentan sehingga tidak menyisakan ruang fiskal untuk berinvestasi yang lain.
Negara-negara kaya sibuk mengejar pasokan gas alternatif, meningkatkan produksi bahan bakar fosil dalam negeri, dan mendukung infrastruktur gas di luar negeri. Cina, India, Rusia terlalu disibukkan dengan urusan domestik.
Negara-negara kaya bertahun-tahun menentang usulan pendanaan iklim. Bentuknya berupa jalur pendanaan baru untuk membayar 'utang iklim' negara-negara kaya ke negara-negara berkembang dan negara miskin.
Negara-negara maju, terutama AS dan negara-negara Eropa ogah membayar kompensasi kerugian dan kerusakan parah yang dialami negara berkembang karena krisis iklim. Pemerintahan mereka berdalih, pembiayaan tersebut membutuhkan dana besar dengan jangka waktu puluhan tahun.
Tragedi di Pakistan bisa menjadi titik balik membahas kembali hal tersebut. Perdana Menteri Pakistan, Shehbaz Sharif berencana menempatkan masalah ini di puncak agenda politiknya. Sharif bahkan diundang bertemu Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Gutteres Rabu (21/9) mendatang untuk berbagi informasi terkait skala kebutuhan fiskal di negaranya pascabencana banjir monsun.
Pakistan yang menjadi sekutu strategis negara-negara kaya sekitarnya memimpin kelompok 134 negara berkembang atau G77 menyerukan fasilitasi pendanaan untuk kerugian dan kerusakaan akibat bencana iklim. Negara-negara kepulauan kecil bahkan mengorganisir pertemuan antarpemerintah di sela sidang umum untuk menggalang dukungan pendanaan.
Dekan Fletcher School di Tufts Univeristy, Rachel Kyte mengatakan bencana banjir di Pakistan akan membuka ruang politik baru. Pertanyaannya, apakah negara-negara kaya siap mengubah keputusannya?
"Mungkin tragedi (Pakistan) ini salah satu faktor yang bisa melakukannya," kata Kyte.
2. Penataan ulang sistem keuangan negara
Skala kerusakan di Pakistan menjadi tamparan keras bagi negara-negara berkembang akan perlunya sistem keuangan untuk pemulihan pascabencana yang disebabkan perubahan iklim. Kyte mengatakan perubahan sistemik perlu dilakukan pada sistem keuangan negara untuk ketahanan dan adaptasi menghadapi krisis perubahan iklim.
Sidang Umum PBB bisa menghubungkan pendanaan iklim tadi dengan bentuk-bentuk lain, seperti pengampunan utang dan pemberian hak penarikan khusus atau special drawing rights (SDR). Perdana Menteri Barbados, Mia Mottley mengusulkan negara-negara rentan tidak perlu membayar utang yang terus meningkat karena mereka juga menghadapi biaya besa runtuk pemulihan pascabencana yang disebabkan perubahan iklim.
3. Transisi energi bersih
Tagihan energi dunia terus melonjak. Pemerintah-pemerintah seluruh dunia perlu lebih memerhatikan janjinya untuk menghentikan subsidi bahan bakar fosil.
Bill Hare, Kepala Eksekutif Climate Analytics, sebuah lembaga nonprofit lingkungan berbasis di Jerman mengatakan kenaikan harga bahan bakar fosil harus menciptakan peluang untuk peluncuran energi terbarukan lebih cepat. Beberapa negara berkembang perlu melanjutkan transisi ke energi bersih di setiap sektor pembangunan.
Sejauh ini negara-negara donor fokus pada pendanaan energi bersih di lima negara. Inggris dan Uni Eropa fokus di Afrika Selatan dan Vietnam. AS dan Jepang fokus di Indonesia. AS bekerja sama dengan Jerman dalam kesepakatan serupa di India. Jerman dan Prancis sedang negosiasi dengan Senegal.
4. Menjembatani kesenjangan 1,5 derajat Celsius
Rencana iklim dunia sepakat untuk membatasi pemanasan global tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius pada akhir abad ini. Pada COP26 di Glasgow melahirkan komitmen untuk memperkuat rencana iklim 2030 akhir tahun ini. Momen Sidang Umum PBB 2022 jadi pembuktikan komitmen negara-negara seluruh dunia, terutama negara-negara kaya mengambil tindakan.
5. Keadilan iklim untuk Vanuatu
Vanuatu salah satu negara kepulauan di Pasifik yang terancam kenaikan air laut akibat pemanasan global. Negara ini terus mendesak masyarakat dunia untuk berupaya lebih keras mengatasi krisis perubahan iklim dan mengingatkan negara-negara individualis yang mengabaikan ancaman ini.
Vanuatu yang dihuni hampir 250 ribu penduduk terancam tenggelam jika perubahan iklim tak bisa dihentikan. Pemerintah Vanuatu telah mengumumkan akan membawa osu perubahan iklim ke Pengadilan Tertinggi Dunia (ICJ). Mereka akan menyelenggarakan acara tingkat tinggi di sela sidang umum untuk mengumpulkan dukungan dari negara-negara anggota.